A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Belakangan ini semakin banyak institusi pendidikan yang menyadari perlunya pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (learner centered). Pendekatan teacher centered sudah dianggap tradisional dan perlu diubah (Ching & Gallow, 2000). Ini karena pendekatan teacher centered di mana proses pembelajaran berpusat pada pendidik dengan penekanan pada peliputan dan penyebaran materi, sementara pembelajar sudah kurang aktif, sudah tidak memadai untuk tuntutan era pengetahuan ini.
Yang jelas, para pendidik kini harus menaruh kecurigaan dan perhatian bahwa konten yang kini diajarkan, bisa saja berubah dan menjadi usang, berkurang relevansinya. Era pengetahuan yang sedang kita alami dan hadapi ini, memiliki karakter terobosan-terobosan baru dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Para pembelajar kita membutuhkan lebih dari sesuatu yang bisa kita berikan dengan pendekatan yang berpusat pada pendidik, yakni pendekatan yang dapat memberikan bekal kompetensi, pengetahuan, dan serangkaian kecakapan yang mereka butuhkan dari waktu ke waktu.
Dengan membiarkan pembelajar pasif, pendekatan yang terpusat pada pendidik sulit untuk memungkinkan pembelajar mengembangkan kecakapan berpikir, kecakapan interpersonal, dan kecakapan beradaptasi dengan baik. Tidak banyak yang mereka dapatkan bila partisipasi mereka minim dalam proses pembelajaran. Padahal berbagai kecakapan inilah yang nantinya mereka butuhkan saat menjalani kehidupan dewasa mereka.
Pameran (PYP Exhibition) dalam program pendidikan dasar (PYP = Primary Years Program) yang dijalankan oleh sekolah yang merupakan anggota IB (International Baccalaureate), merupakan peristiwa penting dalam kehidupan sekolah dan siswanya, di mana saat itu mereka menunjukkan sintesis dari unsur-unsur penting PYP dan membaginya dengan seluruh komunitas sekolah. Peristiwa ini merupakan acara puncak di SD Bogor Raya, sekolah tempat penulis mengajar dan menjadi koordinator PYP Exhibition (2009-2011), bagi siswa kelas V untuk menunjukkan lima elemen pokok dari International Baccalaureate (IB), yaitu concepts, learner profile, attitude, skills, dan action yang terkandung dalam setiap proses pembelajaran di dalam PYP.
Dalam pameran ini, setiap siswa diminta untuk terlibat dalam proses penyelidikan lintas disiplin ilmu secara kolaboratif, yang melibatkan mereka dalam pengidentifikasian, penyelidikan, dan tawaran solusi bagi masalah di kehidupan nyata. Gagasan utama yang dipilih harus menjadi ruang lingkup yang cukup penting untuk menjamin penyelidikan terinci oleh semua siswa. Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan siswa dalam mengikuti program pembelajaran ini, yaitu dengan melakukan sejumlah investigasi, melaksanakan tugas praktek, dan presentasi yang dilakukan siswa selama mempersiapkan/ mengikuti pameran. Presentasi dilakukan siswa, lalu dinilai oleh guru dan pengunjung yang mengunjungi stan para siswa.
Secara kronologis siswa memilih bahan penelitian mereka sendiri, disetujui guru, dan mereka mendalami penelitian, sehingga akhirnya mereka dapat mensintesiskan hasil penelitian mereka dalam bentuk alternatif penuntasan masalah yang kemudian dipamerkan dalam acara PYP Exhibition ini. Penilaian hasil kerja siswa ini dilakukan secara berkesinambungan dari waktu ke waktu, baik oleh guru maupun oleh orang tua murid di rumah dengan berbekal beberapa rubrik di mana kriteria kesuksesan hasil belajar mereka dipaparkan.
2. Tujuan
Tujuan pembahasan mengenai PYP Exhibition ini adalah untuk:
- Melihat keterkaitannya dengan proses pembelajaran berbasis masalah.
- Melihat sintaks atau urutan proses persiapan PYP Exhibition untuk kemudian dibandingkan dengan sintaks pada pembelajaran berbasis masalah secara umum.
- Menguraikan manfaat dilaksanakannya PYP Exhibition sebagai pembelajaran berbasis masalah yang merupakan metode pembelajaran yang kreatif dan produktif.
3. Cakupan Bahasan
Pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada bagaimana pembelajaran berbasis masalah itu sendiri, seperti apakah PYP Exhibition itu, lalu bagaimana hubungan antara keduanya.
B. Pembahasan Inti
1. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah
Metode pengajaran berdasarkan masalah ini telah dikenal sejak zaman John Dewey. Menurut Dewey (Trianto, 2009: 91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik.
Metode ini dikembangkan sekitar tahun 1970-an di McMaster University di Kanada. Kini metode ini sudah merambah ke berbagai fakultas di berbagai lembaga pendidikan di dunia. Dengan perkembangannya yang pesat, rumusannya juga beragam. Salah satu yang mewakili, adalah rumusan yang diungkapkan Prof. Howard Barrows dan Kelson.
Problem based larning (PBL adalah kurikulum dan proses pembelajaran). Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut pembelajar mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pendekatannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan kehidupan sehari-hari.
Rumusan dari Dutch (1994) berikut ini akan membantu kita untuk lebih memahami PBL.
PBL merupakan metode instruksional yang menantang pembelajar agar “belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis pembelajar dan inisiatif atas materi pelajaran. PBL mempersiapkan pembelajar untuk berpikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pelajaran yang sesuai.
Pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memroses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
Metode pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi teori konstruktivis. Pada model ini pembelajaran dimulai dengan menyajikan masalah nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerjasama antara siswa. Guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan, guru memberi contoh mengenai penggunaan keterampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan. Guru menciptakan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa. Cara seperti itulah yang disebut dengan “membangun pengetahuan sendiri” (konstruktivisme).
2. Perbedaan Teacher Centered dan Learner Centered
Tabel 1 berikut ini dapat menjelaskan perbedaan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pendidik (teacher centered) dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (student centered) secara ringkas.
Teacher Centered (TC)
|
Learner Centered (LC)
|
· Pengetahuan dipindahkan dari pengajar ke pembelajar
|
· Pembelajar membangun pengetahuannya
|
· Pembelajar menerima informasi secara pasif
|
· Pembelajar terlibat secara aktif
|
· Belajar dan penilaian adalah yang terpisah
|
· Belajar dan penilaian adalah hal yang sangat terkait
· Budaya belajar adalah kooperatif, kolaboratif, dan saling mendukung
|
· Penekanan pada pengetahuan di luar konteks aplikasinya
|
· Penekanan pada penguasaan dan penggunaan pengetahuan yang merefleksikan isu baru dan lama, serta menyelesaikan masalah konteks kehidupan nyata
|
· Pengajar perannya sebagai pemberi informasi dan penilai
|
· Pengajar sebagai pendorong dan pemberi fasilitas pembelajaran
|
· Fokus pada satu bidang disiplin ilmu
|
· Pengajar dan pembelajar mengevaluasi pembelajaran bersama-sama
· Pendekatan pada integrasi antar disiplin
|
Tabel 1. Perbedaan teacher centered dengan student centered
Dari perbedaan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pendekatan yang berpusat pada pendidik itu memang punya banyak kelemahan. Sedangkan pendekatan yang berpusat pada pembelajar, kelihatannya mampu menutupi kelemahan-kelemahan tadi.
3. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Kelebihan pembelajaran berdasarkan masalah sebagai suatu model pembelajaran adalah:
· Realistik dengan kehidupan siswa.
· Konsep sesuai dengan kebutuhan siswa.
· Memupuk sifat inquiry siswa.
· Retensi konsep menjadi kuat.
· Memupuk kemampuan problem solving.
Tetapi pembelajaran berdasarkan masalah ternyata juga mempunyai kekurangannya, yaitu:
- Persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks
- Sulitnya mencari problem yang relevan
- Sering terjadi kesalahan konsep
- Memerlukan waktu yang cukup panjang
4. Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Sintaks suatu pembelajaran berisi langkah-langkah praktis yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam suatu kegiatan.
Dalam pembelajaran berdasarkan masalah, ada lima langkah utama sintaks, yaitu:
Tahap
|
Tingkah Laku guru
|
Tahap I
Orientasi siswa pada masalah
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
|
Tahap II
Mengorganisasi siswa untuk belajar
|
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
|
Tahap III
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
|
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
|
Tahap IV
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
|
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
|
Tahap V
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
|
Tabel 2. Sintaks pembelajaran
5. Bagaimana PYP Exhibition Dirumuskan?
Proses kegiatan untuk persiapan PYP Exhibition tersebut dilakukan dengan mengalami tahap-tahap berikut ini:
A. Perencanaan (Planning/ Tuning In)
Pada tahap ini guru menjelaskan apa yang harus dilakukan para siswa untuk memenuhi sebuah PYP Exhibition. Diskusi mengenai aturan main yang lebih banyak melibatkan siswa untuk membuatnya, lalu bentuk-bentuk permasalahan juga dipilih sendiri dengan rancangan pertanyaan dari guru. Tahap ini juga meminta siswa untuk mencari/ memilih sendiri inkuiri apa yang akan mereka jalani lebih lanjut nanti, apa yang telah mereka ketahui tentang permasalahan yang mereka pilih, bagaimana cara mereka mencari tahu permasalahan tersebut, apakah mereka pernah punya pengalaman di bidang tersebut, apa saja yang ingin mereka ketahui, apa saja yang perlu mereka ketahui, dan hal lainnya yang sifatnya mencari tahu bidang apa yang mereka sukai atau sejauh mana kepedulian mereka terhadap suatu issu.
Brainstorming siswa terhadap inkuiri yang ingin mereka lakukan dapat dikumpulkan dalam sebuah jurnal dan lembar kerja siswa.
B. Pencarian Data (Finding Out)
Pada tahap ini siswa diminta untuk mulai menguraikan/ mengelaborasi dari mana saja mereka dapat mencari data untuk mendukung tahap perencanaan. Siswa menyusun sendiri daftar pertanyaan sesuai dengan kepentingan mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebaiknya menggambarkan bagaimana para siswa menemukan kata kunci yang tepat untuk dapat membantu proses pencarian data mereka dari berbagai sumber (buku, internet, observasi, survey, kunjungan, dll), lalu siapa yang memutuskan, apakah jawaban yang mereka cari selama ini sudah memenuhi pertanyaan yang mereka susun sebelumnya.
C. Penggunaan Data
Tahap ini melibatkan dua proses yang lebih lanjut, yaitu:
1. Pemilihan Data (Sorting Out)
Tingkat kejelian para siswa dalam memilih data yang sesuai dengan inkuiri mereka diuji pada tahap ini. Bagaimana mereka memilih orang yang tepat untuk mereka tanyai, buku/ halaman internet mana yang pantas/ tepat mereka baca/ kunjungi, bagaimana timbal balik/ tindak lanjut mereka setelah menemukan sumber informasi yang mendukung, apakah data yang mereka peroleh berhubungan dengan inkuiri mereka secara langsung, ataukah ada hubungan yang tak langsung telah terjadi, perlukah inkuiri siswa diubah untuk mengikuti arah dari data/ fakta yang telah berubah.
2. Pengolahan Data/ Tindak Lanjut (Going Further)
Bila semua data telah didapatkan, maka siswa tinggal memutuskan apakah masih akan mencari data/ fakta yang lebih mendukung inkuirinya/ menjawab semua pertanyaannya atau bila itu semua dirasa cukup, maka siswa mulai merumuskan hubungan-hubungan yang bisa terjadi antara fakta di lapangan dengan inkuiri yang telah ia tetapkan sebelumnya, apakah siawa punya sudut pandang yang lain dalam melihat sebuat issu, dalam bentuk apakah ia akan menunjukkan temuannya dalam pameran nanti (drama, peta konsep, maket, produk), bagaimana agar orang lain merasakan keuntungan dari produk yang mereka hasilkan.
D. Evaluasi Diri
Siswa mengevaluasi dirinya dengan dua cara, yaitu:
1. Kesimpulan (Conclusion)
Membuat kilas balik apakah semua hasil pekerjaannya selama ini sudah menjawab inkuirinya, apakah ia sudah memahami sampai sejauh ini apa yang ia sudah jalani, apakah ia sudah berkolaborasi dengan teman-temannya secara efektif, sejauh mana ia membagi pengetahuannya dengan teman-temannya, tindakan apa yang akan membuat hasil karyanya berbeda dari yang lain.
Evaluasi diri yang dikerjakan oleh siswa dibuat dalam bentuk naratif seperti di dalam lembar kerja siswa yang tersebut di atas. Di situ siswa menuliskan semua pengalaman belajarnya dalam mempersiapkan PYP Exhibition ini, apakah semua hasil pekerjaannya selama ini sudah menjawab inkuirinya, apakah ia sudah memahami sampai sejauh ini apa yang ia sudah jalani, apakah ia sudah berkolaborasi dengan teman-temannya secara efektif, sejauh mana ia membagi pengetahuannya dengan teman-temannya, tindakan apa yang akan membuat hasil karyanya berbeda dari yang lain.
2. Tindak Lanjut (Taking Action)
Tindakan yang dihasilkan oleh siswa peserta PYP Exhibition ini tidak harus sebuah produk baru yang merupakan jawaban dari kasus yang ia temukan/ rumuskan sebelumnya sebagai alternatif pemecahan masalah, namun bisa pula merupakan hasil evaluasi diri yang membantunya ke arah perbaikan kualitas diri dalam belajar.
Beberapa tolok ukur dari produk atau tindak lanjut siswa peserta PYP Exhibition ini adalah sebagai berikut:
- Tindakan apa yang dapat menjawab inkuiri yang telah dirumuskan? Apa pertanyaan baru yang dimiliki agar inkuiri ini lebih dapat terjawab?
- Apakah yang saya pelajari membantu saya dalam pembelajaran saya, atau membantu orang lain?
- Bagaimana cara meningkatkan belajar saya? Bagaimana cara belajar saya yang terbaik? Bagaimana saya akan mengambil tindakan untuk meningkatkan pembelajaran saya?
- Bagaimana saya akan menggunakan apa yang telah saya pelajari untuk mengambil tindakan dan membuat perbedaan? Sejauh mana tindakan saya mempengaruhi orang lain?
- Apa hal yang paling utama dari inkuiri ini?
- Apakah saya telah mencerminkan seluruh proses tindakan? Bagaimana diri saya tercermin? Apa jenis tindakan yang saya ambil? Apakah saya mengambil tindakan langsung, melibatkan interaksi secara pribadi? Apakah saya mengambil tindakan tidak langsung, melibatkan tindakan yang lebih umum yang akan bermanfaat bagi masyarakat?
- Apakah saya mengambil tindakan dengan menyebarkan kesadaran, membiarkan orang lain tahu betapa pentingnya area pembelajaran saya?
- Apakah saya mengambil tindakan melalui penelitian saya yang memungkinkan saya untuk mempresentasikan pengetahuan baru saya?
6. Bagaimana Melakukan Penilaiannya?
Penilaian yang digunakan secara keseluruhan dalam persiapan PYP Exhibition ini adalah dengan menggunakan penilaian autentik, karena persiapan ini sendiri merupakan tugas autentik.
A. Tugas Autentik
Tugas autentik atau authentic tasks: is an assignment given to students designed to assess their ability to apply standard-driven knowledge and skills to real-world challenges. Dengan kata lain, suatu tugas yang meminta siswa melakukan atau menampilkannya dianggap autentik apabila: (i) siswa diminta untuk mengkonstruksi respons mereka sendiri, bukan sekedar memilih dari yang tersedia; (ii) tugas merupakan tantangan yang mirip (serupa) yang dihadapkan dalam (dunia) kenyataan sesungguhnya.
Baron’s (Marzano, 1993) mengemukakan lima kriteria tugas untuk penilaian autentik, yaitu: 1) tugas tersebut bermakna baik bagi siswa maupun bagi guru; 2) tugas disusun bersama atau melibatkan siswa; 3) tugas tersebut menuntut siswa menemukan dan menganalisis informasi sama baiknya dengan menarik kesimpulan tentang hal tersebut; 4) tugas tersebut meminta siswa untuk mengkomunikasikan hasil dengan jelas; 5) tugas tersebut mengharuskan siswa untuk bekerja atau melakukan.
Anonymous (2005) mengemukakan dua hal yang perlu dipilih dalam menyiapkan tugas dalam penilaian otentik, yaitu keterampilan (skills) dan kemampuan (abilities). Selanjutnya anonymous mengungkapkan lima dimensi yang perlu dipertimbangkan pada saat menyiapkan task yang otentik pada pembelajaran sains. Pertama, length atau lama waktu pengerjaan tugas. Kedua, jumlah tugas terstruktur yang perlu dilalui siswa. Ketiga, partisipasi individu, kelompok atau kombinasi keduanya. Keempat, fokus evaluasi: pada produk atau pada proses. Kelima, keragaman cara-cara komunikatif yang dapat digunakan siswa untuk menunjukkan kinerjanya.
Tugas-tugas penilaian kinerja dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yaitu:
- computer adaptive testing (tidak berbentuk tes obyektif), yang menuntut peserta tes dapat mengekspresikan diri untuk dapat menunjukkan tingkat kemampuan yang nyata;
- tes pilihan ganda diperluas, dengam memberikan alasan terhadap jawaban yang dipilih;
- extended response atau open ended question juga dapat digunakan;
- group performance assessment (tugas-tugas kelompok) atau individual performance assessment (tugas perorangan);
- interview berupa pertanyaan lisan dari asesor;
- observasi partisipatif;
- portofolio sebagai kumpulan hasil karya siswa;
- proyek, expo, atau demonstrasi;
- constructed response, yang siswa perlu mengkonstruksi sendiri jawabannya.
B. Pengertian Penilaian Autentik
Penilaian autentik atau authentic assessment jarang digunakan dalam penilaian sebagai penilaian alternatif. Penilaian autentik lebih sering dinyatakan sebagai penilaian berbasis kinerja (performance based assessment). Sementara itu dalam buku-buku lain (kecuali Wiggins) penilaian autentik disamakan saja dengan nama penilaian alternatif (alternative assessment) atau penilaian kinerja (performance assessment). Selain itu Mueller (2006) memperkenalkan istilah lain sebagai padanan nama penilaian autentik, yaitu penilaian langsung (direct assessment).
Nama performance assessment atau performance based assessment digunakan karena siswa diminta untuk menampilkan tugas-tugas yang bermakna. Terdapat sejumlah pakar pendidikan yang membedakan penggunaan istilah penilaian autentik dengan penilaian kinerja, seperti misalnya Meyer (1992) dan Marzano (1993). Sementara itu Stiggins (1994) dan Mueller (2006) menggunakan kedua istilah itu secara sinomim.
Penilaian autentik merupakan penilaian langsung dan ukuran langsung (Mueller, 2006:1). Ketika melakukan penilaian, banyak kegiatan yang akan lebih jelas apabila dinilai langsung, umpamanya kemampuan berargumentasi atau berdebat, keterampilan menggunakan komputer, dan keterampilan melaksanakan percobaan. Begitu pula menilai sikap atau perilaku siswa terhadap sesuatu atau pada saat melakukan sesuatu.
Dalam hal-hal tertentu mungkin saja ada tugas-tugas yang tidak dapat dikerjakan di dalam kelas, sehingga tugas-tugas tersebut harus dikerjakan di luar jam pelajaran bahkan di luar sekolah. Bagaimana menilai pembelajaran seperti itu? Bagaimana kita dapat menilai hasil belajar serupa itu? Orang-orang biasanya menyebutkan pembelajaran semacam itu pembelajaran berbasis proyek atau project-based learning (Wiggins, 2005:2). Jadi, penilaian autentik juga digunakan untuk menilai hasil belajar berdasarkan penugasan atau proyek.
Asmawi Zainul (2001:7-8) menekankan perlunya penilaian kinerja untuk mengukur aspek lain di luar kognitif, yaitu tujuh kemampuan dasar menurut Howard Gardner yang tidak mungkin dinilai hanya dengan cara-cara yang biasa. Ketujuh kemampuan dasar tersebut adalah: (1) visual-spatial, (2) bodily- kinesthetic, (3) musical-rhythmical, (4) interpersonal, (5) Intrapersonal, (6) logical mathematical, (7) verbal linguistic. Baru dua kemampuan yang terakhir yang banyak diukur atau dinilai orang, sementara lima kemampuan yang lainnya belum banyak diungkap. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa proses penilaian (asesmen) terutama penilaian kinerja menjadi fokus utama penilaian.
Menurut Jon Mueller (2006), penilaian autentik merupakan suatu bentuk penilaian yang para siswanya diminta untuk menampilkan tugas pada situasi yang sesungguhnya yang mendemonstrasikan penerapan keterampilan dan pengetahuan esensial yang bermakna. Pendapat serupa dikemukakan oleh Richard J. Stiggins (1987), bahkan Stiggins menekankan keterampilan dan kompetensi spesifik, untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai. Hal itu terungkap dalam cuplikan kalimat berikut ini:
“performance assessments call upon the examinee to demonstrate specific skills and competencies, that is, to apply the skills and knowledge they have mastered” (Stiggins, 1987:34).
Grant Wiggins (1993) menekankan hal yang lebih unik lagi. Beliau menekankan perlunya kinerja ditampilkan secara efektif dan kreatif. Selain itu tugas yang diberikan dapat berupa pengulangan tugas atau masalah yang analog dengan masalah yang dihadapi orang dewasa (warganegara, konsumen, professional) di bidangnya.
“…Engaging and worthy problems or questions of importance, in which students must use knowledge to fashion performance effectively and creatively. The tasks are either replicas of or analogous to the kinds of problems faced by adult citizens and consumers or professionals in the field” ( Wiggins, 1993:229)
Seperti apakah bentuk penilaian autentik? Biasanya suatu penilaian autentik melibatkan suatu tugas bagi para siswa untuk menampilkan, dan sebuah kriteria penilaian atau rubrik yang akan digunakan untuk menilai penampilan berdasarkan tugas tersebut.
7. Hasil yang Diharapkan
Dengan kegiatan di atas, siswa dapat diharapkan memenuhi tujuan utama dari PYP Exhibition mereka, yaitu:
- Mengetahui sejauh mana menyatukan inkuiri siswa secara kolaboratif,
- Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mendemonstrasikan kemandirian dan tanggung jawab belajar mereka
- Memberikan kesempatan siswa untuk menggali lebih dalam sudut pandang mereka yang beragam
- Mensintesiskan dan memakai hasil belajar mereka selama ini, serta merefleksikan pengalaman belajar mereka selama dalam PYP
- Menunjukkkan proses penilaian secara otentik terhadap pengetahuan siswa
- Mendemonstrasikan bagaimana siswa mengambil langkah sebagai hasil belajar mereka
- Menyatukan para siswa, guru, orang tua siswa, dan anggota komunitas sekolah untuk berkolaborasi dalam menjalankan elemen-elemen pokok dari PYP
Adapun dari arah taraf kompetensi, menggunakan model yang dikembangkan oleh Bloom. Menurut Benjamin S. Bloom, kompetisi kognitif peserta didik mulai dari yang paling rendah sampai kepada yang paling tingggi adalah: pengetahuan, pemahaman, aplikasi atau penerapan, analisis, evaluasi, dan mencipta. Keenam taraf kompetensi inilah yang harus diukur dalam setiap kegiatan persiapan PYP Exhibition. Namun demikian, sebagaimana urutannya, maka taraf kompetensi pengetahuan, pemahaman dan aplikasi adalah satu bagian integral dalam pembelajaran yang oleh Hellen McGrath dan Toni Noble dalam Different Kids Same Classroom disebut sebagai lower-order thinking. Sementara tiga taraf kompetensi selanjutnya, yaitu analisis, evaluasi, dan mencipta ada dalam higher-order thinking atau dapat dikatakan sebagai proses berpikir kritis (Listiyono, 2010), seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3 dan Gambar 1.
Tabel 3. Taksonomi Bloom (Anderson L. W. & Krathwohl, D.R.: 2001)
Gambar 1. Kompetensi dalam Taksonomi Bloom yang dibagi menjadi dua tingkat cara berpikir kritis
8. Perbandingan antara PYP Exhibition dengan PBL
PYP Exhibition sebagai aplikasi dari pembelajaran berbasis masalah bila diurutkan sintaksnya, maka akan terlihat dalam Tabel 4 berikut ini.
Pembelajaran Berbasis Masalah
|
Persiapan PYP Exhibition
|
Sintaks
|
Kegiatan
|
Tingkat Berpikir
|
Sintaks
|
Kegiatan
|
Tingkat Berpikir
|
Tahap I
Orientasi siswa pada masalah
|
Orientasi untuk
mengkomunikasikan dan menyepakati tugas dan langkah pembelajaran.
|
Pengetahuan dan pemahaman
|
Tuning in
|
Orientasi, diskusi langkah-langkah, lalu memilih bentuk permasalahan dengan pancingan pertanyaan dari guru, mencari/ memilih sendiri inkuiri Brainstorming siswa terhadap inkuiri
|
Pengetahuan dan pemahaman
|
Tahap II
Mengorganisasi siswa untuk belajar
|
Mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah
|
Aplikasi dan analisis
|
Finding out
|
Menguraikan/ mengelaborasi. Mencari dari berbagai sumber (buku, internet, observasi, survey, kunjungan, dll)
|
Aplikasi dan analisis
|
Tahap III
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
|
Mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
|
Aplikasi dan analisis
|
Sorting out
|
Tindak lanjut siswa setelah menemukan sumber informasi yang mendukung, perlukah inkuiri siswa diubah untuk mengikuti arah dari data/ fakta yang telah berubah.
|
Analisis
|
Tahap IV
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
|
Merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model
|
Analisis, evaluasi, dan mencipta
|
Going further & Taking action
|
Merumuskan hubungan-hubungan yang bisa terjadi antara fakta di lapangan dengan inkuiri yang telah ia tetapkan sebelumnya, merumuskan temuannya dalam bentuk drama, peta konsep, maket, produk, merumuskan keuntungan dari produk yang dihasilkan.
|
Analisis, evaluasi, dan mencipta
|
Tahap V
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa dan proses-proses yang mereka gunakan.
|
Analisis dan evaluasi
|
Evaluation
|
Kilas balik apakah semua hasil pekerjaannya selama ini sudah menjawab inkuirinya, apakah sudah memahami yang ia sudah jalani, apakah ia sudah berkolaborasi dengan teman-temannya, sejauh mana ia membagi pengetahuannya dengan teman-temannya, tindakan apa yang akan membuat hasil karyanya berbeda dari yang lain.
|
Analisis dan evaluasi
|
Tabel 4. Keterkaitan sintaks dan tingkatan berpikir
9. Manfaat Problem Based Learning
Seperti yang pernah dikatakan Edward de Bono, “Pendidikan bukanlah tujuan kita. Pendidikan harus mempersiapkan pembelajar untuk hidup”. Dengan demikian, PBL punya peluang untuk membangun kecakapan hidup (life skills) pembelajar; pembelajar terbiasa mengatur dirinya sendiri (self directed), berpikir metakognitif (reflektif dengan pikiran dan tindakannya), berkomunikasi dan berbagai kecakapan terkait.
Smith (2005), yang khusus meneliti berbagai dimensi manfaat di atas menemukan bahwa pembelajar akan:
· Menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atas materi ajar
Kalau pengetahuan itu didapatkan lebih dekat dengan konteks prakteknya, maka kita akan lebih ingat. Dengan konteks yang dekat dan sekaligus melakukan deep learning (karena banyak mengajukan pertanyaan menyelidik) bukan surface learning (yang sekedar hafal saja), maka pembelajar akan lebih memahami materi. Kita membutuhkan pembelajar yang seperti ini apa pun bidang yang mereka pelajari.
- Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan
Dengan kemampuan pendidik membangun masalah yang sarat dengan konteks praktek, pembelajar bisa “merasakan” lebih baik konteks operasinya di lapangan.
Dengan proses yang mendorong pembelajar untuk mempertanyakan, kritis, reflektif, maka manfaat ini bisa berpeluang terjadi. Pembelajar dianjurkan untuk tidak terburu-buru menyimpulkan, mencoba menemukan landasan atas argumennya, dan fakta-fakta yang mendukung alasan. Nalar pembelajar dilatih, dan kemapuan berpikir ditingkatkan. Tidak sekedar tahu, tapi juga dipikirkan.
- Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial (soft skills)
Pembelajar diharapkan memahami perannya dalam kelompok, menerima pandangan orang lain, bisa memberikan pengertian bagi orang lain, seperti juga hubungan interpersonal dapat mereka kembangkan. Dalam hal tertentu, pengalaman kepemimpinan juga dapat dirasakan. Mereka mempertimbangkan strategi, memtutuskan, dan persuasive dengan orang lain.
- Membangun kecakapan belajar (life-long learning skills)
Pembelajar harus mengembangkan bagaimana kemampuan untuk belajar (learn how to learn) dengan belajar terus-menerus. Fungsinya, dalam pilihan kariernya nanti, bila mereka menemukan masalah yang agak mengambang, mereka dapat melatih kemandirian dalam merumuskan dan mencari sendiri pengetahuan yang relevan.
Perumusan masalah yang tepat sesuai dengan minat dari dalam diri pelajar akan membuat mereka bergairah dalam menyelesaikannya, karena pendidik menciptakan masalah dengan konteks pekerjaan.
C. Penutup
1. Kesimpulan
PBL adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi pada masalah.
Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual dan belajar menjadi pembelajar yang otonom. Keuntungan PBL adalah mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tugas. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihannya sendiri, yang memungkinkan siswa menginterpretasikan dunia nyata dan membangun pemahaman tentang fenomena tersebut.
Paradigma pembelajaran telah berubah dari pola lama, yaitu pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran/ pendidik (instructor-centered instruction) ke arah pembelajaran yang berfokus pada pembelajar, learner centered instruction. Perubahan paradigma arah atau kecenderungan pembelajaran ini akhirnya mengubah pola interaksi pembelajaran dalam kelas. Pola pembelajaran yang pertama menempatkan pembelajar sebagai satu-satunya sumber belajar, sebaliknya pada pola kedua menempatkan pembelajar sebagai fokus pembelajaran. Perubahan ini telah diilhami oleh adanya teori-teori dan pendekatan-pendekatan baru dalam praktek pembelajaran dewasa ini. Salah satu aplikasi atau terapan pembelajaran, berdasarkan teori ini adalah pembelajaran berbasis masalah. Belajar berbasis masalah, atau yang lebih popular dengan PBL (problem-based learning) adalah suatu metode atau cara pembelajaran, atau mungkin dalam pelatihan, yang ditandai oleh adanya masalah nyata, a real-world problems, sebagai sebuah konteks bagi para pembelajar untuk belajar berpikir kritis dan keterampilan memecah-kan masalah serta memperoleh pengetahuan. Perihal ini mencakup baik pengetahuan dan tindakan.
2. Saran/ rekomendasi
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) ini dapat dipakai dalam proses pembelajaran individual dan kelompok. Cara ini juga dapat diaplikasikan dalam lingkup pembelajaran kelas (classroom setting) dan tipe belajar yang lain. Bahkan pembelajaran berbasis masalah ini dapat diterapkan bagi para karyawan atau profesional untuk menyiapkan mereka dalam tugas-tugas barunya atau kepentingan promosi jabatan. Ini sering dilakukan dengan case-based learning.
Mengapa pembelajaran berbasis masalah? Apabila kita sebagai seorang guru atau dosen (pendidik) atau pelatih, atau bahkan sebagai seorang manager sebuah perusahaan, kita memiliki dua tujuan manakala kita menyiapkan seseorang dengan suatu tugas baru. Tujuan yang pertama, adalah ingin meningkatkan secara maksimal daya tahan pengingatan atau retensi. Kita tidak ingin hal-hal yang kita pelajari berjalan di tempat atau tidak berdaya sama sekali. Kita tidak memiliki waktu khusus untuk melatih seseorang, sehingga kita perlu meyakinkan bahwa daya tahan pengingatan tinggi. Tujuan kita yang kedua, adalah untuk menjamin penyampaian informasi yang bukan hanya sekedar transfer pengetahuan (transfer of knowledge) saja. Untuk itu, kita perlu menjadikan pembelajar mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam setiap situasi. Hal yang paling baik apa yang kita lakukan adalah dengan cara memberikan suatu landasan yang memungkinkan pembelajar mampu membangun sesuatu untuk merespon terhadap situasi-situasi baru atau situasi lain yang berbeda.
Untuk itulah, pendekatan pembelajaran yang lebih baik dilakukan melalui latihan pemecahan masalah (problem-solving), membuat keputusan (decision-making), dan belajar arah diri (self-directed learning). Hal-hal ini dapat dilaksanakan dengan menerapkan PBM, yang memberikan landasan terjadinya pembelajaran yang lebih hidup, karena dengan menerapkan PBM pembelajar menerapkan pengetahuan dan keterampilan, bukan hanya menerima saja.
Daftar Pustaka
Albanese, M.A. dan Mitchell, S. (1993). Problem-based Learning: a Review of The Literature on Outcomes and Implementation Issues. Academic Medicine.
Aisyah, Nyimas (2007), Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta:
Depdiknas
Barrows, H.S. & Tamblyn, R.M. (1980). Problem-based Learning: an Approach to Medical Education. New York: Springer Publishing..
Depdiknas (2003). Pendekatan Konteksual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Depdiknas
Gredler, Margareth E. (2001), Learning and Instruction, Theory New Jersey: Upper Saddle River.
Hergenhahn, B. R., Matthew H. Olson. (2009) Theories of Learning. Jakarta: Kencana.
Melvin L. & Silberman (1996). Active Learning: Strategies to Teach any Subject. USA: Allyn & Bacon.
Nurhadi (2004). Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: PT Grasindo: Proyek DUeLike Universitas Indonesia. 2002. Panduan PelaksanaanCollaborative Learning & Problem Based Learning. Depok: UI.
Trianto (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana
D. Lampiran
Kinerja siswa selama berlangsungnya proses persiapan PYP Exhibition, seperti yang ditunjukkan oleh foto-foto berikut ini.
Sorting Out dan Going Further
|
|
|
Taking Action (The Exhibition)
|
|
|
|
|
|
|